//
you're reading
Umum

Seindah Kuncup yang Bermekaran

oleh Muhammad Akbar

(Mahasiswa Pasca Sarjana UNM Makassar)

Bismillahi rahmanirrahim

Bagian Satu

Saudaraku malam ini aku sulit tertidur, dalam gulita sekalipun mataku susah untuk terpejam. Lantas dalam pikiranku terbayang wajahmu semua. Yah, engkau semua yang mengajakku untuk menemukan jalan hidup penuh makna dan barokah. Bayanganmu seketika datang meski tak sedikit pun kumengundangnnya, saat bayanganmu datang pikiranku jauh mecari, membongkar tumpukan memori tentang kala itu. Saudaraku maafkan saudaramu yang tak hafal betul detail setiap ruang dan lorong waktu yang mengitar saat itu, tapi yang jelas lakon-lakonmu masih melekat kuat dan tersimpan rapi dalam ingatanku. Untuk kak muhajir, masih segar dalam ingatanku kak! saat pertama kali bertemu denganmu di Gunung Sari. Saat itu dengan penampilanmu yang khas dan tubuhmu yang mungil mensosialisasikan final test Mentoring di kelasku gedung BT, lalu beberapa hari Allah menakdirkan kita bertemu lagi. Namun, saat itu kau menanyakan alamatku secara lengkap dan mengatakan padaku agar jangan kemana-mana setelah sholat ashar, sedikit pun kau tidak memberiku kesempatan untuk bertanya padamu kecuali memaksaku untuk hanya berkata iye’ dan mengangguk setuju. Terus terang aku bingung dengan semua itu kak. Tapi demikianlah takdir semuanya terjadi sangat rapi dan penuh makna bagi yang memikirkannya. Betul, akhirnya sore itu engkau datang kak, menjemputku dan membawaku ke tempat yang aku sendiri tidak tau berantahnya. Hingga….? Masjid Arrahmah nama tempat itu, sesuai dengan apa yang kulihat di papan nama Masjid yang terpampang tepat di atas kosen pintu masuk. Daurah, yah itu kali pertama aku ikut daurah. Kalau tak salah ingat saat itu akhir tahun 2008 tapi juga bisa jadi awal tahun 2009.

untuk fandi dan samsul masih ingatkah saat ta’arufan pertama kita di mesjid Arrahmah Tabaria, saat itu engkau telah kukuh dalam jalan dakwah ini, sementara saya masih lamat bahkan baru meraba. Samsul, jenggot lebat dan kumis hitammu terus terang membuatku takjub padamu, fandi dengan keramahan dan kesederhanaanmu membuatku harus banyak mendengar dan mengangguk atas nasihat dan arahan-arahanmu yang ringan tapi penuh arti. Yang tak kalah penting dari kalian berdua logat Bugis Bonemu yang mengirama. Ada pesan dan kesan yang teramat indah menggelora dalam diriku saat itu, ceramah penutup pamungkas dari ust. Ardian membuatku semakin ingin mengikuti jalan yang kau tempuh saudaraku. Saudaraku masih ingatkah saat engkau ingin berhenti kuliah dan pindah ke STIBA? Yah saat itu terus terang itu membuatku gundah, perjalanan ukhuwah kita masih pendek namun engkau sudah mau memutusnya secepat itu.

Ingatkah engkau dengan tarbiyah pertama kita di masjid Nurul Mujtahidah bersama ust. Akhyar Amnur murobbi pertama kita. Halaqoh itu, masih kumelihatnya dengan jelas di pelupuk mataku seakan baru tadi sore, di sana ada Jihadin (PGSD Induk 08) dari Gowa, Syahruddin (PGSD Induk 08) dari Bulukumba, Khaerul Akbar (PGSD Induk 08) dari Makassar, Fandi (PPB kelas B 08) dari Bone, Aslam (PPB kelas B 08) dari Enrekan, Ryan (PPB kelas B 08) dari Soppeng, Samsul (PGSD Tidung 08), Budi (PLB 08) dari Jeneponto dan saya sendiri. Atau saudaraku masih ingatkah saat hari-hari kita diisi dengan ta’lim yang hampir tiap hari di gedung HL lt. 3? Serasa baru rabu kemarin saya bergabung dengan majelisnya antum. Saat itu narasumbernya adalah mahasiswa STIBA dua orang dengan tema kajian seputar FIQH. Entah karena tendensi perasaan atau karena kerinduan dan ketakziman kepada engkau membuatku sulit untuk menolak setiap ajakanmu untuk ikut nimbrung mendengar di majelis ilmumu. Aku masih ingat saudaraku saat itu kemeja coklat muda polos beradu dengan celana jeans dari malaysia melekat menjadi saksi bisu episodeku saat itu. Jihadin dengan tubuh jangkungnya, Syahruddin dengan rambut pirangnya, Khaerul Akbar dengan gulungan kaki celananya, Fandi dengan kemeja khasnya yang merah marun dan biru muda kotak-kotak, Samsul dengan jenggot dan tas selempangnya, Aslam dengan gaya akademisnya sebagai ketua tingkat, Ryan dengan kacamata dan motor thunder birunya, budi dengan sikap cool-nya.

Saudaraku, masih ingatkah saat itu? Ketika sore hari di bawah terik yang masih memendar jelas di wajahmu yang memerah berpeluh kita berjuang saling menjemput dan mengumpul untuk sebuah team sepak bola ukhuwah. Kebersamaan itu mengajarkan kita untuk tetap kompak menapaki lorong Mannuruki, Mamoa, lobang tikus (lotus) kampus Parang Tambung hingga akhirnya mentok di medan laga (lapangan depan masjid Ulil Albab). Saudaraku yang kuingat adalah kebersamaan kita saat itu walaupun kekalahan itu memang pahit, kalau tidak salah ingat 9-0 untuk kemenangan anak olahraga di FSI RI CUP. Saudaraku masihkah kau ingat saat itu kita pergi ke sana tanpa teman dari ikhwa senior seorang pun, yah hanya kita. Bisa saja saat itu kita tidak pergi dengan berbagai alasan yang bisa dibuat-buat. Baru malam ini aku berpikir dorongan apa yang menggerakkan langkah kita saat itu? padahal jarak dari Tidung ke Parang Tambung itu jauh. Sesak dada ini saudaraku mengenangnya, itukah iman dan ukhuwah yang menggerakkan kita saudaraku? Saya yakin pasti dia, tiada yang lain.

Saudaraku, masihkah kau ingat saat mabit pertamaku denganmu di Masjid Shihhatul Iman Banta-Bantaeng? Kita saling menjemput, mencari hingga ke setiap kos kita masing-masing. Hanya ada satu motor supra hitam agak butut milik kak Muhajir yang bolak balik mengantar kita semua. Syukron wajazaakumullohu khairon saudaraku, kakakku, Muhajir. Saudaraku malam itu menu makan malam kita adalah ayam goreng, masih terasakah nikmatnya di lidahmu? Ingat saudaraku saat malam itu kita kesulitan menemukan garam, karena malam itu penjual di warung-warung tak ada yang mau menjual garam karena mitos yang mereka yakini. Saya juga tak tahu persis saudaraku malam itu malam apa. Saudaraku seakan malam inilah semua itu terjadi, disaat kita membersihkan dan memotong-motong daging ayam bersama, meracik bumbu, hingga kerasnya desiran minyak yang menyambut hempasan potongan ayam yang engkau tuangkan ke wajan. Baru saat itu pulalah aku tahu sunnah wudhu sebelum tidur, yah karena sebab engkau semua. Di saat terlelapnya kita malam itu pun aku masih ingat, kita tertidur berjajar telentang melewati serpihan malam hingga waktu sahur. Jujur saudaraku baru kali itu aku berdiri menegakkan sholat tahajjud dengan sangat indahnya. Pengajian subuh, jalan santai ke stadion FIK, hingga menara mesjid yang kita tantang ketinggiannya menambah kerekatan ukhuwah yang baru kita rajut saudaraku. Sekali lagi syukron wajazaakumullohu khoiron.

Saudaraku, masihkah kau ingat di saat kak muhajir berjibaku seorang diri merelakorbankan segalanya untuk membantu kita memelihara bibit-bibit iman dan hidayah yang baru berkecambah? Karena iman dan hidayah itulah yang menjadikan kita yang tetap istiqomah merasakan makna dan arah tujuan hidup, mengukuhkan keyakinan kita kepada Allah ta’ala, mengajarkan kita pada pelajaran peran juru dakwah yang dulunya kita gemingkan. Ya Allah peliharalah dia dan limpahkanlah padanya karuniamu. Saudaraku, saat itu setelah melewati perjalan indah kebersamaan Allah ta’ala menakdirkan kita berpisah beberapa pekan karena libur semester Tahun Ajaran baru. Saudaraku berat untuk mengatakan bahwa di sinilah awal dan akhir sebagian perjalanan dakwah dan ukhuwah di antara kita. Sedih rasanya ketika di awal kuliah tahun ke dua di antara kita sudah ada yang mulai gugur, entah apa alasanmu saudaraku. Hingga hari ini pun aku belum paham dengan pengunduran dirimu dari jalan dakwah ini. Padahal saat itu rihlah dakwah baru hendak bersemi, menebar semerbak pesonanya ke penjuru kampus FIP Tidung.
Jihadin, Syahruddin, Fandi, Samsul, ingatkah saat pagi itu kita di hadapkan pada ratusan mahasiswa yang hendak Mentoring perdana namun kak muhajir terlambat datang. Syahruddin yang mulai panik dengan gayanya yang khas, sedikit gusar. Namun semuanya karena Allah, insya Allah. Fandi yang bolak-balik masjid nurul mujtahidah dan gedung HL dengan gayanya yang dewasa dan tetap tenang meskipun saat itu juga tidak tau mau berbuat apa. Jihadin dan Khaerul Akbar yang bersatu padu mengiringi kebingungan Samsul, sambil sesekali membenarkan Syahruddin. Saudaraku, wallahi aku rindu dengan semua itu. saudaraku, di antara kita tidak ada yang punya pengalaman keorganisasian namun Allah berkehendak mengenalkan dan mengajarkan kita dengan pengalaman seperti itu melalui situasi-situasi seperti tadi. Betapa jalan dakwah ini sangat mengagumkan saudaraku. Demi Allah penuh dengan kejutan dan keluarbiasaan.

Kaderisasi tutor SAINS hari ini di FIP ternyata Allah telah rencanakan beberapa tahun sebelumnya, saat Allah menakdirkan kita menjadi bagian dari pelaku Mentoring, kemudian asisten tutor, dan penanggungjawab kelas Mentoring mahasiswa baru. Tiada yang menyangka peran itulah yang membuat kita cinta dengan Al Quran. Jihadin ingatkah engkau dengan kelas PLS 09 dan PGSD 09 yang antum tanggungjawabi, di sana ada Ismail yang menurut berita di koran beliau salah satu awarde beasiswa LPDP, ada Taslim dengan semangat dakwah jalur akademik yang dia usung, ada Asrul sani dengan semangat dakwahnya yang menginspirasi karena kisah hidupnya yang penuh perjuangan dan romantika. Fandi ingatkah engkau saat membersamai kelas PGSD bilingual 09 untuk Mentoring dengan akh Akhyar sampai magrib, saat itu kau bilang sambil makan biskuit. Saudaraku di halaqoh itu ada Asnur yang kita saksikan sendiri sebagai salah satu pion terdepan dakwah di UNM dan Makassar. Demikian juga di PPB 09 saudaraku, di sana ada Asri yang menyejarah hingga hari ini di FIP, Aswar yang melintas tapal tanah Gowa untuk sebuah cita-cita, duo Samsul Alam yang tetap istiqomah di atas jalan dakwah, dan Musryadi yang fenomenal. Syahruddin, Samsul, Khaerul Akbar dan saya sendiri, jangan bersedih kita tetap bersama, berjama’ah dalam dakwah meski tak ada sosok yang tersebut dari kita.

Jihadin, syukron telah mengajakku untuk hijrah dari Mannuruki, setiap hari yang kulalui bersamamu akan tetap abadi bersamaku sebagai nasihat, motivasi, dan bahan renungan untuk anak-anak dan isteri-isteriku kelak di Dunia maupun di Surga. Masihkah kau ingat saudaraku saat pagi itu kau menyaksikan kerapuhanku mendapat kabar kematian Nenekku yang membuatku menangis sejadi-jadinya. Saat malam engkau mengadu acting-mu padaku, ibarat seorang aktor kawakan. Ingatkah juga engkau dengan mie rebus campur daun aneh itu, perkedel ebi yang hampir malpraktek, sayur tauge dengan akarnya yang masih utuh, kripik kedelai yang menantang gigi, teh dua periuk yang tertengguk habis setelah sholat isya, hingga tidur yang melelahkan? Jihadin, masihkah kau ingat saat engkau menjadi PJS Ketua Umum menggantikan kak Muhajir? Engkau melangkahi Tabaria, Mamoa, Mannuruki, hingga Emmy Saelan di tengah malam buta seorang diri dengan kedua kakimu. Saudaraku, jujur seandainya aku tahu akan seperti itu maka aku akan menunggumu. Saya sungguh salut dengan sifatmu yang amanah dan bertanggung jawab, semua itu tidak akan sia-sia saudaraku. Sepeninggal Fandi, seharusnya engkaulah yang pantas melanjutkan kepemimpinan kak Muhajir saudaraku. Saudaraku engkau pernah bilang saat musyawarah Panitia seseorang telah memarahimu, saat itu engkau menjadi ketua panitia Kajian Buku “Remaja ya Remaja Ekspresikan Aksimu dalam Dunia Islam”. Saya yakin engkau akan tersenyum membaca tema Kajian Buku tersebut, apatahlagi dengan ekspresi yang akan engkau buat-buat saat menyebutnya. Saudaraku terima kasih atas kebersamaan yang kau tawarkan dan berikan padaku.

Samsul, saudaraku terus terang engkaulah yang paling menyita banyak perhatian kami, ikhwan maupun akhwat. Bagaimana tidak, di tengah perjalanan dakwah ini engkau menatap jalan yang lain. Engkau tinggal bersama mereka, ikut serta disetiap kegiatannya, memakai jaket kebesarannya di tengah-tengah ikhwa, terus terang membuat kita semua cemburu. Tentunya setelah kami memahami beberapa kesalahan-kesalahan pendapat mereka dalam beberapa hal dalam agama ini. Bersyukurlah saudaraku dengan perjuangan dan perhatian ikhwa dalam menjaga keimananmu tentunya dengan izin dan karunia dari Allah robbul izzati.

Fandi, syukron saudaraku atas tawaranmu untuk memotong celanaku yang masih kepanjangan. Engkau melihat sebagian celanaku masih isbal tanpa pikir panjang engkau menawariku untuk memotongnya meskipun sebenarnya engkau sendiri meminta tolong kepada keluargamu. Saudaraku aku masih ingat kepada siapa engkau meminta tolong, namun malu rasanya mengutarakannya di tulisan ini, biar kita dan Allah yang tahu. Saudaraku ubi goreng emmi-mu (‘e’-nya di baca seperti ketika menyebut ‘e’ pada kata engkau) sungguh nikmat, apatahlagi Mamoa masih pagi sunyi. Kau tahu saudaraku? saya ke sana dengan Jihadin dan Syahruddin setelah sholat subuh, berjalan kaki menapaki jalan dan lorong-lorong di pagi buta. Sungguh menyenangkan, apalagi setiba di sana sepiring ubi goreng dan teh panas yang mulai hangat telah menanti, aku masih ingat saudaraku, bagaimana kami merepotkan ibumu karena kecepatan makan kami melebihi kecepatan ibumu mengupas dan menggoreng ubi, syukron saudaraku.

Syahruddin, semenjak saya tahu engkau orang Bulukumba apatahlagi kita tinggal di Kecamatan yang sama, saat itu selera bahasa Indonesiaku kepadamu mulai hilang, lebih enak bercakap denganmu memakai bahasa bugis, mengalir, dan penuh emosional. Syahruddin, Jihadin bilang engkau layak disebut syaikh majalah Arrisalah. Katanya sih karena engkau senang mengoleksi tiap edisi majalah Arrisalah. Baginya engkau adalah gunung yang menyimpan seribu misteri bisa meledak kapan saja tanpa perlu orang tahu kapan meledaknya, wawasanmu luas namun kau malu meleburnya dalam halaqah tarbiyah binaan SCRN, terus terang saudaraku aku masih penasaran dengan gaya ceramahmu. Kau dan Khaerul Akbar ibaratnya matahari kembar, namun akhirnya tercerai di tengah gencarnya permusuhan terhadap dakwah Islam. Hampir lengkap setiap laporanmu tentangnya, hingga akhirnya betul terenggut oleh jalan lain yang dia pilih. Saudaraku, kurindukan saat-saat kalian berdua berusaha menaklukkan PGSD dengan sosialisasi dan dakwah fardiyah-mu yang tak perlu rumus matematis untuk menganilisis keberhasilannya. Saudaraku PGSD hari ini adalah PPB di masa lalu, SCRN dan PGSD tak lagi dapat dipisahkan, sungguh ini adalah bagian dari kerja dakwahmu juga. Berbahagialah telah meninggalkan warisan terbaik untuk orang lain, insya Allah, akan tetap abadi di sisi Allah meski kita tak pernah betul-betul dikukuhkan hingga mendapatkan lembaran SK kepengurusan SCRN. Saudaraku, masihkah kau ingat saat akhwat menawarimu ikan bolu? “Afwan, ada ikan untuk ikhwa di sini tapi belum dikerja” kurang lebih seperti itu isi teks SMS yang kau tirukan dan sampaikan ke kami. Ternyata ikan bolu besar kalau tak salah ingat ada dua ekor, malam itu bolu bakar menjadi santapan malam kita. Meskipun masih sedikit menyisakan darah karena belum matang betul, engkau tetap sibuk menyeleksi antara daging dan tulan di mulutmu ditambah dengan gaya makanmu yang serius, kata orang bugis massifa’. Saudaraku, ingatkah juga saat kosmu menjadi arena makan besar kita berempat, engkau, saya, jihadin, dan asri. Ahad santai yang menggiurkan kita untuk membuat kapurung. Hari ini saya baru tahu kalau kapurung itu adalah makanan yang terdiri dari banyak campuran sayur-sayuran dan ikan. Tapi kapurung yang kita buat hanya dicampur dengan satu jenis sayur yaitu jantung pisang itupun tanpa ikan, tapi rasanya tetap berkelas saudaraku. Begitu akrabnya kosmu saudaraku dengan jantung pisang sampai-sampai bingka’ jantung pisang pertama kalinya saya dapatkan juga di sana. Aku mencintaimu karena Allah saudaraku, syukron telah berjuang bersama mempertahankan keimanan.

Khaerul Akbar saudaraku yang hilang, bagaimana kabarmu hari ini? Kemana engkau menepi? Apakah engkau pergi untuk kembali dengan semangat dakwah yang lebih besar dan menggelora? Saudaraku saya masih ingat saat kita berempat, engkau, saya, Syahruddin, dan Jihadin, berangkat tarbiyah bersama. Kita jalan kaki dari kampus hingga ke tempat penantian pete-pete kode E, setelah itu berhenti tepat diseberang jalan lorong masuk ke jalan Abd. dg. Sirua, kita menyeberang bersama-sama menerobos derasnya lalu lalang kendaraan di jalan AP Pettarani. Panasnya terik matahari, debu yang menghalau, dan lelah yang menuntut-nuntut karena selepas dari kampus tak menjadikan kita cengeng untuk menunda tarbiyah. Saya masih ingat saat kita pulang agak larut dan engkau khawatir tak ada lagi pete-pete yang akan membawamu ke jalan Sunu, raut wajahmu sungguh membuatku turut khawatir saudaraku tapi semuanya sirna setelah kau yakinkan dirimu, tampak jelas dari sunggingan senyummu yang sangat tulus. Saudaraku, masihkah engkau ingat saat kak Muhajir menyuruh kita membawa draf AD/ART SCRN ke pondokan akhwat? Saat itu kita bingung bercampur takut, bagaimana tidak yang kita saksikan sebelum-sebelumnya adalah begitu tertutup dan hati-hatinya komunikasi antara kak Muhajir dengan akhwat. Sesuatu yang baru kita dapatkan, namun akhirnya kita dihadapkan padanya tak tanggung-tanggung kita yang harus melakukannya. Saya masih ingat saat dengan gagahnya kita berjalan ke sana, tapi saat tempat tujuan sudah di depan mata langkah mulai diulur-ulur, nyali mulai anjlok, kita saling dorong mendorong dan tawar menawar gerak tubuh khususnya kaki dan pandangan. Saudaraku, bagaimana rasanya saat pertama kali teriak mengucap salam? namun menurutku teriakanmu masih agak pelan, saya tahu engkau canggung dan malu-malu. Cukup lama juga saudaraku kita melempar salam namun tak sedikit pun ada tanda-tanda orang yang meresponnya, ucapan salam berkali-kali dipadu dengan dentingan pagar yang dipukul-pukul bebatuan sepertinya tak cukup berarti. Kita bolak-balik bahkan sudah mengarahkan badan untuk pergi, hingga akhirnya engkau mengambil keputusan stratejik, yah sangat stratejik saudaraku. Draf kau simpan di bawah bantal guling putih yang terjemur di sisi atas tembok sebelah kiri pondokan kemudian kau menindihnya dengan batu-batu kecil agar cukup kuat menahan gempuran angin siang itu. Setelah yakin draf aman dan akan sampai kepada tujuan, kita bergegas pergi, belum beberapa jauh sebuah batu yang sangat kecil kita lemparkan ke atap pondokan itu dengan harapan ada orang yang keluar memeriksa suasana terus melihat titipan kita. Agak sinematis dan menggelikan memang saudaraku, tapi setidaknya itulah cara pertama kita mengenal dan memahami komunikasi dengan mereka. engkau ingat atau tidak, cerita ini akan tetap abadi saudaraku.

Jihadin, Syahruddin, Khaerul Akbar, ingat saudaraku dulu kita pernah jadi salesman FSI RI di bawah arahan kak Bustan. Kita di tatar tiap pekan bahkan kita punya kartu anggotanya saudaraku laiknya salesman professional, menjual beragam jenis majalah mulai dari El Fata hingga majalah Sakinah namun tak satupun yang terjual ke orang lewat tangan saya mungkin demikian juga denganmu saudaraku. Hingga akhirnya kita memutuskan untuk membelinya sendiri, kegagalan kita jadi salesman bukanlah sorotan utamaku saudaraku, tapi kegigihan dan kemauanmu menopang pendanaan dakwah di FIPlah yang membuatku sangat terkesan dan termotivasi. Kita sadar uang lembaga yang keluar tiap triwulan tak dirasa cukup untuk mendanai setiap kegiatan dakwah kita di FIP, olehnya dengan modal keinginan kita berbuat apapun sebisa kita untuk menambah pundi-pundi kas SCRN. Saudaraku, mungkin di antara engkau ada tak sempat menyaksikan bahwa hari ini kita telah memiliki tim kewirausahaan yang mumpuni, tapi saya yakin inilah jawaban dari usaha tulusmu yang dulu saudaraku, Allah menjawab doa dan mengabulkan harapanmu saudarakau. Wallahi inilah jawaban Allah saudaraku, pernahkah engkau menduganya? sungguh indah jalan kehidupan yang kau goreskan untuk kami ya Allah. Jalan dakwah tak akan pernah sepi dari pertolongan Allah, segera atau tertunda pertolongan itu pasti akan datang.

Saudaraku, jalan dakwah ini masih panjang, pengorbanan, kerja keras jangan kau luputkan darimu kapanpun karena pada akhirnya semuanya akan bermuara pada keindahan dan nostalgia.

Saudaraku, aku masih ingat saat mabit terakhir di halaqoh tarbiyah kita. Bonto baddo’ kabupaten Gowa, tak ada tanda perpisahan pada mabit kala itu saudaraku, ikan bakar dan taujih ust. Akhyar Amnur seakan adalah pengokoh kebersamaan kita yang telah melanggeng lebih kurang 3 tahun lamanya. Namun tiada yang menduga kalau gelas anti pecah pada akhirnya juga akan retak dan pecah, demikian juga dengan halaqoh kita saudaraku akhirnya pecah dan pecahannya terserak kemana-mana. Jihadin dan Fandi melanjutkan ke jenjang tarbiyah selanjutnya, Samsul ikut tes namun tidak ikut dauroh-nya, saya dan Syahruddin ikut Muktamar SCRN di Kabupaten Bone, tepatnya di kediaman Samsul.

to be continued….

Discussion

No comments yet.

Mari Berikan Komentar